Sabtu, 13 Desember 2008

Aku Sakit, Kenapa Engkau Tidak Menjenguk-Ku

Izinkanlah, saya memulai tulisan ini dengan sebuah hadits Qudsi yang pernah dikisahkan oleh Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam. Hadits Qudsi yang apabila saya membacanya, saya sering tertegun dan termenung mendalam. Sebagaimana kita tahu, hadits Qudsi adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala yang redaksinya (lafazh-nya) dari Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam namun maknanya berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala. Berbeda dengan al-Qur’anul Karim yang baik lafadz maupun maknanya berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Dalam hadits Qudsi tersebut Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam menceritakan, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala kelak di hari kiamat akan bertanya kepada kita, “Wahai anak Adam, Aku sakit, tetapi kenapa Engkau tidak menjenguk-Ku ?”
Manusia (kita) akan menjawab,”Ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku akan menjenguk-Mu, sedangkan Engkau adalah Rabb, Tuhan Semesta Alam ?”
Allah subhanahu wa ta’ala akan bertanya, “Apakah engkau tidak tahu bahwa hamba-Ku si fulan sakit, sedangkan Engkau tidak menjenguknya ? Apakah engkau tidak tahu, seandainya engkau kunjungi dia, maka engkau akan dapati Aku di sisinya ?”
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kembali, “Hai anak Adam, Aku minta makan kepadamu, tetapi kenapa Engkau tidak memberi-Ku makan ?”
Anak Adam akan menjawab, “Ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku memberi makan kepada-Mu, sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam ?”
Allah subhanahu wa ta’ala akan menggugat, “Apakah engkau tidak tahu hamba-Ku si fulan minta makan kepadamu sedangkan engkau tidak memberinya makan ? Apakah engkau tidak tahu seandainya engkau memberinya makan, engkau akan mendapatkan-Ku disisinya ?
Allah subhanahu wa ta’ala akan berfirman kembali, “Hai anak Adam, aku minta minum kepadamu, tetapi kenapa engkau tidak memberi-Ku minum ?”
Anak Adam akan menjawab lagi, “Bagaimana mungkin aku melakukan, padahal Engkau adalah Tuhan Semesta Alam ?”
Allah subhanahu wa ta’ala bertanya kembali, “Hamba-Ku si fulan meminta minum kepadamu, tetapi engkau tidak memberinya minum. Ketahuilah, seandainya engkau memberinya minum maka sudah pasti engkau akan mendapati-Ku di sisinya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim).

Pembaca yang budiman.

Jika kita renungkan hadits Qudsi di atas, nampak jelas betapa pentingnya kepedulian antar sesama di dalam Islam. Di hari kiamat nanti, ternyata Allah subhanahu wa ta’ala tidak hanya akan menanyakan keshalihan kita secara pribadi, namun juga keshalihan kita secara sosial. Allah subhanahu wa ta’ala akan menggugat jika ada di antara kita yang tidak peduli dengan saudaranya yang sakit, haus dan kelaparan. Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala dalam hadits tersebut mengungkapkan, bahwa jika kita ingin mendekati Allah ta’ala maka jalannya adalah mendekati orang-orang yang kesusahan di antara kita.
Karena itu wajarlah jika Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam, dalam sebuah hadits pernah mengungkapkan, “Bukanlah bagian dari kami (kaum muslimin) orang-orang yang tidak peduli dengan masalah kaum muslimin.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak)
Atau dalam hadits yang lain, RasuluLlah shallaLlahu alayhi wa sallam juga bersabda, “Tidak beriman kepadaku orang yang mampu untuk tidur kenyang, sedangkan tetangga di sampingnya kelaparan.” (Diriwayatkan oleh Imam at-Thabrani dan al-Bazzar)
Kepedulian terhadap sesama ini makin penting untuk kita hidupkan saat ini, di saat kondisi perekonomian negeri kita tidak kunjung membaik. Keberkahan yang seharusnya meliputi negeri ini, nampak seperti terkunci. Negeri yang gemah rimah loh jinawi ini, tak mampu lagi untuk menghidupi penduduknya sendiri. Sehingga, kita tidak terkaget-kaget lagi saat mendapati kisah seorang ibu yang hamil tua di Makasar meninggal dunia karena kekurangan gizi. Ada pula kisah seorang ketua pengurus ranting sebuah partai Islam di Sulawesi yang harus merelakan bayinya wafat karena tidak mampu membayar biaya perawatan sebesar Rp. 20.000,- ke petugas Puskesmas. Begitu juga kisah masyarakat di kawasan Jakarta Barat yang telah bertahun-tahun memakan makanan dari sampah restoran. Serta, beratus-ratus (atau mungkin beribu-ribu) kisah-kisah menyedihkan lainnya di sekitar kita. Baik yang terungkap media maupun tidak. Kita hari ini makin merasakan nilai uang yang kita genggam tidak lagi berharga di hadapan beras, susu, dan kebutuhan harian kita.
Namun, di saat perut masyarakat kita perih menahan lapar, masih saja ada pemimpin kita yang berani berdusta. Bahwa, kemiskinan menurun. Pengangguran berkurang. Keadaan membaik, dan seterusnya. Berdusta atas nama statistik. Lie with statistic... Padahal dalam al-Qur’an, Allah subhanahu wa ta’ala menyandingkan kata kejujuran dengan keimanan dan ketaqwaan. Tidaklah bertaqwa seseorang yang berdusta.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar” (Q.S. Al-Ahzaab ayat 70)
Disebabkan hilangnya taqwa itulah, keberkahan negeri ini terkunci. Karena Allah subhanahu wa ta’ala pernah berfirman, “Jikalau penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan membukakan kepada mereka pintu keberkahan dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami berikan balasan atas sebab perbuatannya.” (Q.S. Al-A’raaf ayat 96)

Pembaca yang budiman.

Bukan hanya lapar yang diderita masyarakat kita, namun juga sakit. Penyakit jasmani mungkin masih bisa ditahan, namun apa jadinya jika penyakit jiwa yang diderita kebanyakan masyarakat kita. Penelitian Departemen Kesehatan yang diumumkan Menkes Siti Fadilah Supari pada tanggal 23 Oktober 2008 yang lalu, mengungkapkan fakta menyedihkan. Dua puluh lima persen (atau, satu dari empat orang) masyarakat Indonesia menderita gangguan jiwa. (Topik AnTV, 23/10/2008). Hasil penelitian WHO (World Health Organization) yang dirilis Februari tahun ini juga menguatkan hal yang sama, hampir 100 juta rakyat Indonesia menderita gangguan jiwa, baik skala rendah maupun tinggi.
Karena itulah kita melihat tingkat stress masyarakat kita yang tinggi. Tidak mampu lagi menahan beban hidup, hingga harus mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Bahkan bunuh diri sesudah bertakbir dan melaksanakan shalat Idul Fitri di Istiqlal.
Sakitnya jiwa masyarakat kita makin nampak dengan terus merajelelanya penjualan VCD/DVD porno di negeri ini. Saat anggota dewan kita terus bersilat lidah tentang RUU Pornografi, lihatlah tidak kurang 200 ribu keping film porno digandakan setiap harinya di negeri Melayu ini. Akibatnya, anak-anak perempuan kita lah yang dalam bahaya. Penelitian Komisi Nasional Perlindungan Anak, dua bulan yang lalu, mengungkapkan 62,7% siswi SMP di negeri ini sudah tidak lagi perawan.
Jika kita belum juga yakin akan akutnya penyakit jiwa di tengah masyarakat lihatlah pula bagaimana makin seringnya kita menyaksikan berita pembunuhan mutilasi. Jika dahulu, kita hanya menyaksikan sekian tahun sekali baru ada kasus mayat yang terpotong, maka saat ini hampir setiap bulan ada kisah orang yang dibunuh dengan dipotong. Bahkan yang teranyar terjadi di sekitar kita, Pondok Rajeg, Cibinong.

Pembaca yang budiman.

Demikianlah wajah masyarakat kita. Lapar, haus dan sakit. Jika hati kita tidak tergerak untuk menolong mereka, takutlah jika kelak Allah Ta’ala bertanya kepada kita, “Mengapa engkau tidak menjenguk-Ku, memberi makan dan minum-Ku ... ?”
Jika kita tidak mampu untuk membantu mereka dengan harta kita, setidaknya ringankanlah beban mereka dengan tegur-sapa dan senyum kita. Bukankah senyum kita pun adalah shadaqah. Sabda Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam, “Senyum di hadapan saudaramu adalah shadaqah.”
Atau, setidaknya bantulah mereka dalam do’a-do’a kita. Saat kita bermunajat kepada Allah Ta’ala di tengah malam. Dalam kesunyian, getarkanlah bibir kita, “Allahumman shurna wal muslimiin ... Ya Allah, selamatkanlah kami dan kaum muslimin ...”
Wallahu a’lam bis showwab.



Muhammad Setiawan(murabbiku)

Tidak ada komentar:


ShoutMix chat widget