Selasa, 16 Desember 2008

Memaafkan Tanpa Melupakan

Wafatnya HM. Soeharto. Seseorang yang pernah memimpin Republik Indonesia paling lama dalam sejarah. Seseorang yang diakui oleh semua fihak sebagai orang yang banyak berjasa dalam memimpin negeri ini. Beliaulah, pemimpin yang mampu mengangkat negeri ini dari keterpurukan ekonomi di akhir tahun 60-an, setelah krisis politik berkepanjangan di masa orde lama. Beliau pula pemimpin yang mampu untuk menghadirkan pembangunan ekonomi secara berkelanjutan, yang dulu kita kenal dengan istilah Repelita (rencana pembangunan lima tahun). Di bawah kepemimpinannya, rakyat Indonesia pernah mengalami swasembada pangan, sehingga harga pangan demikian terjangkau. Infrastruktur jalan raya, listrik dan telekomunikasi juga banyak dibangun pada masa kepemimpinan beliau.

Namun, selain hal-hal manis tersebut, kita pun mengenang masa-masa kelam yang pernah dialami, khususnya oleh umat Islam, di masa kepemimpinan beliau. Umat Islam yang awalnya dirangkul saat membubarkan PKI, kemudian dijauhi dan dipinggirkan. Dimulai dari pelarangan pembentukan kembali salah satu Partai Islam terbesar di negeri ini yaitu Masyumi, hingga pelabelan ekstrim kanan (eka) dan tindakan represif bagi kelompok Islam yang tidak setuju dengan kebijakannya. Karena itulah, kita mencatat peristiwa-peristiwa kelam yang pernah terjadi saat itu. Mulai dari kasus aliran kepercayaan, pelarangan jilbab, isu asas tunggal, hingga peristiwa pembantaian di Tanjung Priok dan Talangsari (Lampung). Demikian represifnya rezim orde baru, bahkan untuk sekedar menyelenggarakan pengajian pun sungguh sangat sulit di masa itu.

Meskipun demikian, menjelang hari-hari terakhir Pak Harto, kita menyaksikan tokoh-tokoh Islam yang mewakili umat Islam yang pernah disakiti oleh kebijakan beliau, berulang-ulang kali mengungkapkan pemaafan atas kesalahan Pak Harto. Bahkan, tak hanya itu, tokoh-tokoh Islam itu pun meminta seluruh masyarakat untuk mendo'akan dan memaafkan Pak Harto. Sebuah sikap yang bijaksana dan mencerminkan keluhuran akhlaq Islam. Islam memang mengajarkan keutamaan memberikan maaf dibadingkan meminta maaf. Dalam al-Qur'an, Allah subhanahu wa ta'ala mengungkapkan diantara ciri-ciri orang yang bertaqwa adalah kemampuan untuk memberikan maaf.

(Yang bertaqwa itu adalah) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan yang mampu menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Al-Qur'an, Surat Ali Imran ayat 134)

Dalam as-Sunnah pun, kita dapat menyaksikan begitu banyak contoh pemaafnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Salah satunya, seperti saat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berhasil menaklukkan kota Mekkah (fathu Makkah). Sebagai seseorang yang pernah disakiti, disiksa dan diperangi oleh penduduk Mekkah hingga akhirnya terusir dari kampung halamannya, secara manusiawi sebenarnya layak saja jika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membalas perbuatan penduduk Mekkah tersebut. Namun, alih-alih membalas, saat datang kembali ke kota Mekkah sebagai penguasa, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam malah memberikan pengampunan massal. Seraya bersabda, "Idzhabuu, fa antumut thulaqqa (Silahkan pergi sesuka hati, kalian adalah orang-orang yang merdeka)". (Kitab Sunan Kubra al-Bayhaqi juz 9 hal. 118 dan kitab Ma'rifatus sunan wal atsar lil Bayhaqi juz 14 hal. 417) Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga mengungkapkan hari agresi militer-nya ke kota Makkah bukan sebagai hari pertumpahan darah, namun sebagai "yaumur rahmah" (hari kasih sayang).

Karena itulah, jika terhadap penduduk Mekkah yang belum menjadi muslim saja begitu besar maaf yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tunjukkan, maka mengapa kita tidak dapat memaafkan kesalahan Pak Harto yang hingga akhir hayatnya masih menyatakan diri sebagai seorang muslim.

Walaupun tentu saja, pemaafan yang diberikan bukan berarti kita boleh melupakan seluruh sejarah yang pernah terjadi di masa kepemimpinan beliau. Umat Islam hendaknya tidak menjadi umat yang pendek memori kesejarahannya. Kaum muslimin selayaknya adalah kaum yang sadar sejarah, karena al-Qur'an telah berulang kali mengingatkan kepada kita pentingnya pemahaman sejarah.

Maka Kami jadikan yang demikian itu (peristiwa sejarah) sebagai peringatan bagi orang-orang dimasa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Qur'an, surat al-Baqarah ayat 66). Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. (Al-Qur'an, surat Yusuf ayat 111)

Diantara hal-hal yang dapat dijadikan 'ibrah (pelajaran) dari sejarah kekuasaan orde baru adalah sebagai berikut :
1. Betapa buruknya jika syahwat kekuasaan sudah tertanam dalam diri manusia. Karena syahwat kekuasaan inilah rezim orde baru dapat berkuasa selama 32 tahun di Indonesia. Juga, karena syahwat kekuasaan ini pula rezim orde baru menghalalkan segala cara untuk melanggengkan kekuasaannya. Untuk itulah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengingatkan kepada kita bahayanya terlalu obsesif terhadap kekuasaan. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya kalian akan berlomba-lomba untuk berkuasa, padahal ia adalah penyesalan di hari kiamat." (Shahih Bukhari juz 22 hal. 59 no. 6615)
2. Pentingnya pengawasan dan kritik dalam kepemimpinan. Saat seorang pemimpin tidak mau dikritik dan dinasehati maka yang muncul berikutnya adalah lupa diri yang bermuara pada kesewenang-wenangan. Karena itulah Umar Ibn Khattab radhiyallahu 'anhu pernah berkata, "Semoga Allah subhanahu wa ta'ala merahmati orang yang menghadiahkan aibku kepadaku."
3. Bahwa kepemimpinan hendaknya digunakan bukan saja untuk melindungi kebutuhan fisik rakyat, namun juga kebutuhan psikisnya. Melindungi rakyat dari ketakutan dan kesedihan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Siapa saja yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk mengurusi umat Islam, sedang ia tidak memperhatikan kedukaan dan kemiskinan mereka, maka Allah tidak akan memperhatikan kepentingan, kedukaan dan kemiskinannya di hari kiamat." (Sunan Abi Dawud, juz 8 hal.177 no. 2559)
4. Pentingnya pula menjaga jarak antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi (ataupun keluarga) dalam kekuasaan. Tidak layak bagi seorang pemimpin jika ia menggunakan kekuasaannya demi kepentingan pribadi maupun keluarganya. Sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Amirul mu'minin Umar Ibn Khattab radhiyallahu 'anhu yang mematikan lampu ruang kerjanya saat putranya datang untuk membicarakan masalah keluarga. Saat putranya bertanya, mengapa Umar melakukan itu, Umar menjawab tegas, "Minyak lampu ini dibeli dengan uang rakyat, untuk itu kita tak layak berbicara tentang keluarga dengan diterangi lampu yang dibeli oleh uang rakyat."

Semoga kita semua dapat memaafkan kesalahan-kesalahan Bapak H.M Soeharto. Mendo'akan kebaikan baginya sebagai seorang hamba Allah. Namun, tidak melupakan kekurangan yang pernah dilakukannya, agar sejarah masa lalu tidak terulang lagi.

Wallahu a'lam bish showwab
Muhammad Setiawan(murobbiku)

Tidak ada komentar:


ShoutMix chat widget