Sabtu, 13 Desember 2008

Prinsip-Prinsip Membelanjakan Harta

Salah satu pilar dalam sistem keuangan Islam adalah kecerdasan dalam mengelola pengeluaran harta. Harta yang kita pegang hari ini, dalam perspektif Islam, sesungguhnya bukanlah milik kita, namun titipan dari Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu, harta tidak boleh kita belanjakan semau-maunya kita. Ada prinsip-prinsip pembelanjaan harta dalam Islam yang harus kita perhatikan. Untuk itulah Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam pernah mengingatkan kita semua, bahwa salah satu hal yang akan ditanya nanti oleh Allah subhanahu wa ta’ala di hari kiamat adalah mengenai untuk apa kita belanjakan harta kita.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abi Barzah al-Aslamy radhiyyaLlahu ‘anhu, Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam pernah bersabda, “Tidak akan melangkah kedua belah kaki seorang hamba di hari kiamat kelak, hingga ia ditanya mengenai empat hal : tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya untuk apa ia manfaatkan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan untuk apa ia belanjakan, dan tentang tubuhnya untuk apa ia gunakan.” (Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam kitab sunannya dengan derajat hasan).

Dengan memahami bahwa harta yang dikuasai saat ini akan ditanya oleh Allah subhanahu wa ta’ala, maka setiap muslim selayaknya memiliki prioritas dalam membelanjakan hartanya. Sehingga tidak terjadi fenomena yang menyedihkan seperti yang sering kita lihat saat ini. Yaitu, banyaknya orang yang membelanjakan hartanya untuk hal-hal yang tidak terlalu penting, padahal, banyak orang yang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya saja sangat kesulitan. Beberapa bulan yang lalu misalnya, kita melihat ada ribuan orang di Jakarta yang rela untuk menghabiskan uang hingga jutaan rupiah hanya untuk menonton konser boys band (Backstreet Boys) yang datang dari Amerika. Padahal pada saat yang sama ada seorang ibu hamil yang meninggal dunia karena kelaparan di Makassar. Beberapa pekan yang lalu juga, sebuah hotel di Jakarta dipenuhi oleh ratusan orang yang rela membayar hingga sepuluh juta rupiah (setiap orang) hanya untuk menonton seorang penyanyi wanita (Diana Ross) dari negeri paman Sam di saat ribuan orang di negeri ini tidak dapat membayar biaya kesehatan paling dasar. Ketidakcerdasan dalam membelanjakan harta ini memang jika dibiarkan akan mengakibatkan terjadinya kecemburuan sosial yang akhirnya bisa berujung pada konflik sosial. Untuk itu, berikut ini beberapa prinsip-prinsip sederhana membelanjakan harta dalam Islam.

Prinsip pertama, hendaknya setiap muslim memprioritaskan pengeluaran hartanya bagi hal-hal yang wajib. Diantara hal yang wajib itu adalah membayar zakat dan menafkahi keluarga. Zakat adalah perintah Allah subhanahu wa ta’ala yang disandingkan oleh-Nya dalam banyak ayat al-Qur’an setelah perintah shalat. Sedangkan menafkahi keluarga adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap lelaki yang telah berkeluarga. Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam pernah bersabda, “Cukuplah seorang lelaki itu dianggap berdosa, jika ia menyia-nyiakan orang-orang yang ada dalam tanggungannya (tidak memberi nafkah).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim, dalam kitab shahihnya). Untuk itu, adalah sangat menyedihkan jika kita melihat adanya para pemimpin keluarga yang lebih memilih untuk membelanjakan hartanya demi kesenangan dirinya sendiri dibandingkan untuk menafkahi anak dan istrinya. Beberapa pekan yang lalu misalnya, di sebuah televisi swasta pernah ditayangkan reportase tentang kehidupan kaum miskin kota di Jakarta yang ternyata kepala keluarganya lebih memilih untuk mengalokasikan uangnya untuk rokok ketimbang memenuhi gizi dan biaya pendidikan anak-anaknya. Ditampilkan misalnya, ada seorang tukang ojek motor di kawasan UKI Jakarta Timur yang penghasilan seharinya sebesar Rp. 40.000,- namun habis untuk belanja rokok sebesar Rp. 27.000,- . Sehingga, hanya sekitar 20% yang ia bawa untuk menafkahi anak dan istrinya. Di kawasan lain, ada pula seorang pemulung di Menteng Jakarta Pusat yang memiliki penghasilan perhari Rp. 20.000,- namun habis Rp. 13.000,- hanya untuk rokok. Sehingga tinggal tersisa Rp. 7.000,- saja yang ia bawa tiap harinya untuk makan istri dan tiga orang anaknya. Wal ya’dzubiLlah

Prinsip yang kedua, hendaknya setiap muslim menyisakan bagian dari hartanya untuk menunaikan ibadah-ibadah sunnah. Misalnya, dengan berinfaq, shadaqah maupun memberikan qardhan hasan (pinjaman lunak) bagi orang-orang yang membutuhkan di sekitarnya. Pinjaman lunak ini menjadi hal yang makin terasa penting, di saat “prajurit-prajurit ribawi” makin merajalela di sekitar kita. Baik berupa rentenir-rentenir perorangan yang rajin mengetuk tiap pintu rumah yang terjerat kebutuhan ekonomi, maupun lembaga-lembaga perkreditan yang menawarkan pinjaman hanya dengan jaminan surat-surat kendaraan. “Prajurit-prajurit ribawi” tersebut saat ini belum dapat dilawan oleh lembaga keuangan syari’ah formal, yang seringkali mempersulit memberikan pinjaman karena alasan-alasan prudential (kehati-hatian). Yang dapat melawan mereka hanyalah kepedulian kita untuk saling membantu. Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membantu meringankan kesulitan-kesulitan dunia saudaranya, maka Allah akan membantu kesulitan-kesulitannya kelak di akhirat.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam bab Mazhalim, Imam Muslim dalam bab al-birr, Tizrmidzi dalam bab al-birr, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)

Prinsip yang ketiga, hendaknya setiap muslim tidak berlebih-lebihan dalam membelanjakan hartanya pada hal-hal yang mubah (boleh). Membeli kendaraan mewah, pesawat televisi, handphone yang canggih, perabot rumah tangga, furniture dan barang-barang elektronika lainnya adalah mubah. Namun, hendaknya kita harus mempertimbangkan beberapa hal sebelum membeli itu semua. Pertama, apakah saat kita membeli hal-hal yang mubah itu akan mengurangi pos pengeluaran kita untuk hal-hal yang wajib & sunnah? Jika ternyata kita mengorbankan hal-hal yang wajib untuk membeli hal-hal yang mubah tentu itu bukanlah keputusan yang bijak. Penulis sering melihat ada keluarga yang memiliki TV layar besar lengkap dengan pemutar DVD namun mereka memiliki tunggakan iuran sekolah putra-putrinya dan makanan sehari-harinya kurang bergizi. Padahal point yang terakhir lebih penting daripada point yang pertama. Kedua, saat kita akan membeli barang-barang yang mubah itu, hendaknya kita berfikir berulang-ulang, benarkah barang-barang yang akan dibeli itu memang betul-betul dibutuhkan atau sekedar keinginan belaka ? Banyak orang, misalnya, yang mengidamkan memiliki laptop (komputer jinjing), namun ternyata saat mereka telah memilikinya baru tersadar kalau sesungguhnya ia tidak betul-betul memerlukan benda itu. Demikian juga banyak orang yang berlomba-lomba membeli handphone dengan fasilitas canggih yang berharga puluhan juta, padahal mereka tidak sungguh-sungguh memerlukan fitur-fitur canggih pada handphone-nya. Perilaku membelanjakan harta hanya berdasarkan keinginan dan bukan kebutuhan ini merupakan bentuk dari gaya hidup tabdzir (pemborosan). Allah ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Israa ayat 26 – 27, “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam juga pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah ta’ala suka dan membenci tiga hal dari kalian: suka jika kalian menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan engkau berpegang teguh kepada al-Qur’an. Dan Allah ta’ala membenci jika engkau banyak bicara, banyak bertanya yang tidak penting (untuk menghindar dari kewajiban) dan memboroskan harta”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim) Hal ketiga yang perlu diperhatikan saat membeli barang-barang yang mubah adalah, jangan sampai kita membeli barang-barang yang mubah dengan cara berhutang (kredit / mencicil). Apalagi jika berhutangnya itu dengan disertai bunga (riba). Tentang haramnya riba cukuplah jika merenungkan surat al-Baqarah ayat 275, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. Sedangkan mengenai berhutang ternyata Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam hanya mencontohkan berhutang jika itu terkait dengan kebutuhan pokok saja, tidak pada hal-hal yang mubah. Aisyah ummul mu’minin radhiyallahu ‘anha, pernah menceritakan, “Bahwasanya Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menunda pembayarannya (berhutang), dan beliau shallaLlahu alayhi wa sallam menjadikan tamengnya dari besi sebagai jaminan atas hutangnya.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, sebagaimana tercantum dalam kitab Fath al-Bary 5/53). Untuk itu Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam sangat mewanti-wanti umatnya untuk tidak terbiasa berhutang.. Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian membuat takut jiwa-jiwa setelah kalian mendapatkan ketenangan." Mereka bertanya, "Apakah hal itu wahai Rasulullah ? Beliau menjawab, "Ia adalah hutang." (Diriwayatkan oleh at-Thahawi sebagai dikutip oleh Imam al-Qurthubi dalam al-Jaami' fii Ahkamil Qur'an)

Prinsip yang keempat, hendaknya kita menahan diri untuk tidak berbelanja pada hal-hal yang makruh. Hal-hal yang makruh bisa saja dari hal-hal yang secara dzatiyyah adalah mubah namun karena dibeli secara berlebihan ia menjadi makruh. Seperti makan berlebihan atau memenuhi keinginan untuk mengoleksi sepatu, mobil mewah dan komoditas konsumtif lainnya. Atau, yang makruh itu bisa saja dari benda yang secara dzat-nya memang sudah makruh. Seperti halnya, rokok. Hampir seluruh ulama di negeri ini sepakat bahwa rokok adalah makruh. Bahkan, para ulama internasional, seperti Syekh Abdul Aziz ibn Baz rahimahuLlahu ta’ala mengkategorikan rokok sebagai sesuatu yang haram. Beliau mengungkapkan bahwa rokok haram karena rokok termasuk dalam al-khabaaits (hal-hal yang buruk) dan bukan at-thayyibat (hal yang baik). Keburukan rokok ini dihitung dari besarnya bahaya yang diterima oleh penghisap dan penghirup asap rokok. Padahal Allah SWT telah jelas-jelas menegaskan keharaman seluruh hal yang buruk. Sebagaimana termaktub dalam al-Qur'an surat Al-A’raf : 157 :"Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” (kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram).

Prinsip yang kelima, hendaknya kita jangan pernah membelanjakan harta kita pada hal-hal yang haram. Seperti membeli benda-benda yang merusak aqidah kita (jimat, susuk, dan sejenisnya), atau yang merusak mentalitas kita (film-film porno, majalah-majalah amoral, koran kuning), ataupun sesuatu yang sudah sangat jelas keharamannya, seperti, berjudi. Terlebih lagi saat ini perjudian telah merebak bahkan sampai masuk ke ruang-ruang keluarga kita. Perjudian yang berkedok kuis SMS berhadiah di televisi hampir tak mengenal waktu menyerang anggota keluarga kita. Padahal jelas, perjudian inilah amalan syetan yang akan membawa bangsa ini terus terporosok dalam kehancuran. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat al-Maidah ayat 90, “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

Inilah saudara-saudaraku tercinta, lima prinsip sederhana membelanjakan harta dalam Islam. Semoga kita dapat mensyukuri nikmat harta yang Allah subhanahu wa ta’ala titipkan kepada kita dengan mempergunakannya sebijak mungkin sesuai dengan tuntunan syari’at. Karena, sebagaimana janji Allah subhanahu wa ta’ala, jika kita bersyukur atas nikmat-Nya maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menambah nikmat-Nya. Imam Ibnu Qayyim al-Jauzi menjelaskan tentang ayat ini, dengan ungkapan yang sangat menyentuh. Ujarnya, “Jika seseorang tidak bertambah ni’matnya setiap hari maka sesungguhnya ia telah kurang bersyukur. Karena sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak pernah berdusta.” Untuk itu, jika kita saat ini merasa seakan barokah Allah subhanahu wa ta’ala makin jauh dari negeri ini, bertubi-tubi masalah dan bencana mendera bangsa ini, mungkin itu disebabkan bangsa ini kurang bersyukur. Kurang bersyukur atas nikmat harta (kekayaan alam) yang sudah Allah ta’ala titipkan pada bangsa ini. Karena ternyata harta itu tidak dipergunakan secara bijak sesuai dengan ketentuan-Nya. Bukankah kita adalah negeri dengan tingkat konsumsi tembakau terbesar di dunia (trilyunan rupiah membakar uang setiap tahun), negeri dengan perjudian yang dibiarkan bebas, negeri yang membeli HP nokia communicator terbesar di dunia padahal tidak diperlgukan fitur-nya, negeri yang penduduknya rela membeli televisi layar lebar dengan berhutang agar dapat menonton dangdut sedangkan perutnya keroncongan ... ?
Ya Allah, lindungilah kami. Jangan Kau hukum kami karena perilaku orang-orang bodoh di sekitar kami. Maafkan kami dan bukalah relung hati kami dengan petunjuk-Mu ... Amin Ya Rabbal Alamien.


Wallahu a’lam bis showwab

Muhammad Setiawan(murabbiku), renungan ba’da dhuha 01 April 2008,
saat minyak tanah makin susah dicari.

Tidak ada komentar:


ShoutMix chat widget