Salah satu pilar dalam sistem keuangan Islam adalah kecerdasan dalam mengelola pengeluaran harta. Harta yang kita pegang hari ini, dalam perspektif Islam, sesungguhnya bukanlah milik kita, namun titipan dari Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu, harta tidak boleh kita belanjakan semau-maunya kita.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abi Barzah al-Aslamy radhiyyaLlahu ‘anhu, Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam pernah bersabda, “Tidak akan melangkah kedua belah kaki seorang hamba di hari kiamat kelak, hingga ia ditanya mengenai empat hal : tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya untuk apa ia manfaatkan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan untuk apa ia belanjakan, dan tentang tubuhnya untuk apa ia gunakan.” (Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam kitab sunannya dengan derajat hasan).
Dengan memahami bahwa harta yang dikuasai saat ini akan ditanya oleh Allah subhanahu wa ta’ala, maka setiap muslim selayaknya memiliki prioritas dalam membelanjakan hartanya. Sehingga tidak terjadi fenomena yang menyedihkan seperti yang sering kita lihat saat ini. Yaitu, banyaknya orang yang membelanjakan hartanya untuk hal-hal yang tidak terlalu penting, padahal, banyak orang yang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya saja sangat kesulitan. Beberapa bulan yang lalu misalnya, kita melihat ada ribuan orang di
Prinsip pertama, hendaknya setiap muslim memprioritaskan pengeluaran hartanya bagi hal-hal yang wajib. Diantara hal yang wajib itu adalah membayar zakat dan menafkahi keluarga. Zakat adalah perintah Allah subhanahu wa ta’ala yang disandingkan oleh-Nya dalam banyak ayat al-Qur’an setelah perintah shalat. Sedangkan menafkahi keluarga adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap lelaki yang telah berkeluarga. Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam pernah bersabda, “Cukuplah seorang lelaki itu dianggap berdosa, jika ia menyia-nyiakan orang-orang yang ada dalam tanggungannya (tidak memberi nafkah).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim, dalam kitab shahihnya). Untuk itu, adalah sangat menyedihkan jika kita melihat adanya para pemimpin keluarga yang lebih memilih untuk membelanjakan hartanya demi kesenangan dirinya sendiri dibandingkan untuk menafkahi anak dan istrinya. Beberapa pekan yang lalu misalnya, di sebuah televisi swasta pernah ditayangkan reportase tentang kehidupan kaum miskin
Prinsip yang kedua, hendaknya setiap muslim menyisakan bagian dari hartanya untuk menunaikan ibadah-ibadah sunnah. Misalnya, dengan berinfaq, shadaqah maupun memberikan qardhan hasan (pinjaman lunak) bagi orang-orang yang membutuhkan di sekitarnya. Pinjaman lunak ini menjadi hal yang makin terasa penting, di saat “prajurit-prajurit ribawi” makin merajalela di sekitar kita. Baik berupa rentenir-rentenir perorangan yang rajin mengetuk tiap pintu rumah yang terjerat kebutuhan ekonomi, maupun lembaga-lembaga perkreditan yang menawarkan pinjaman hanya dengan jaminan surat-surat kendaraan. “Prajurit-prajurit ribawi” tersebut saat ini belum dapat dilawan oleh lembaga keuangan syari’ah formal, yang seringkali mempersulit memberikan pinjaman karena alasan-alasan prudential (kehati-hatian). Yang dapat melawan mereka hanyalah kepedulian kita untuk saling membantu. Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membantu meringankan kesulitan-kesulitan dunia saudaranya, maka Allah akan membantu kesulitan-kesulitannya kelak di akhirat.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam bab Mazhalim, Imam Muslim dalam bab al-birr, Tizrmidzi dalam bab al-birr, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)
Prinsip yang ketiga, hendaknya setiap muslim tidak berlebih-lebihan dalam membelanjakan hartanya pada hal-hal yang mubah (boleh). Membeli kendaraan mewah, pesawat televisi, handphone yang canggih, perabot rumah tangga, furniture dan barang-barang elektronika lainnya adalah mubah. Namun, hendaknya kita harus mempertimbangkan beberapa hal sebelum membeli itu semua. Pertama, apakah saat kita membeli hal-hal yang mubah itu akan mengurangi pos pengeluaran kita untuk hal-hal yang wajib & sunnah? Jika ternyata kita mengorbankan hal-hal yang wajib untuk membeli hal-hal yang mubah tentu itu bukanlah keputusan yang bijak. Penulis sering melihat ada keluarga yang memiliki TV layar besar lengkap dengan pemutar DVD namun mereka memiliki tunggakan iuran sekolah putra-putrinya dan makanan sehari-harinya kurang bergizi. Padahal point yang terakhir lebih penting daripada point yang pertama. Kedua, saat kita akan membeli barang-barang yang mubah itu, hendaknya kita berfikir berulang-ulang, benarkah barang-barang yang akan dibeli itu memang betul-betul dibutuhkan atau sekedar keinginan belaka ? Banyak orang, misalnya, yang mengidamkan memiliki laptop (komputer jinjing), namun ternyata saat mereka telah memilikinya baru tersadar kalau sesungguhnya ia tidak betul-betul memerlukan benda itu. Demikian juga banyak orang yang berlomba-lomba membeli handphone dengan fasilitas canggih yang berharga puluhan juta, padahal mereka tidak sungguh-sungguh memerlukan fitur-fitur canggih pada handphone-nya. Perilaku membelanjakan harta hanya berdasarkan keinginan dan bukan kebutuhan ini merupakan bentuk dari
Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam juga pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah ta’ala suka dan membenci tiga hal dari kalian: suka jika kalian menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan engkau berpegang teguh kepada al-Qur’an. Dan Allah ta’ala membenci jika engkau banyak bicara, banyak bertanya yang tidak penting (untuk menghindar dari kewajiban) dan memboroskan harta”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim) Hal ketiga yang perlu diperhatikan saat membeli barang-barang yang mubah adalah, jangan sampai kita membeli barang-barang yang mubah dengan cara berhutang (kredit / mencicil). Apalagi jika berhutangnya itu dengan disertai bunga (riba). Tentang haramnya riba cukuplah jika merenungkan
Prinsip yang keempat, hendaknya kita menahan diri untuk tidak berbelanja pada hal-hal yang makruh. Hal-hal yang makruh bisa saja dari hal-hal yang secara dzatiyyah adalah mubah namun karena dibeli secara berlebihan ia menjadi makruh. Seperti makan berlebihan atau memenuhi keinginan untuk mengoleksi sepatu, mobil mewah dan komoditas konsumtif lainnya. Atau, yang makruh itu bisa saja dari benda yang secara dzat-nya memang sudah makruh. Seperti halnya, rokok. Hampir seluruh ulama di negeri ini sepakat bahwa rokok adalah makruh. Bahkan, para ulama internasional, seperti Syekh Abdul Aziz ibn Baz rahimahuLlahu ta’ala mengkategorikan rokok sebagai sesuatu yang haram. Beliau mengungkapkan bahwa rokok haram karena rokok termasuk dalam al-khabaaits (hal-hal yang buruk) dan bukan at-thayyibat (hal yang baik). Keburukan rokok ini dihitung dari besarnya bahaya yang diterima oleh penghisap dan penghirup asap rokok. Padahal Allah SWT telah jelas-jelas menegaskan keharaman seluruh hal yang buruk. Sebagaimana termaktub dalam al-Qur'an
Prinsip yang kelima, hendaknya kita jangan pernah membelanjakan harta kita pada hal-hal yang haram. Seperti membeli benda-benda yang merusak aqidah kita (jimat, susuk, dan sejenisnya), atau yang merusak mentalitas kita (film-film porno, majalah-majalah amoral, koran kuning), ataupun sesuatu yang sudah sangat jelas keharamannya, seperti, berjudi. Terlebih lagi saat ini perjudian telah merebak bahkan sampai masuk ke ruang-ruang keluarga kita. Perjudian yang berkedok kuis SMS berhadiah di televisi hampir tak mengenal waktu menyerang anggota keluarga kita. Padahal jelas, perjudian inilah amalan syetan yang akan membawa bangsa ini terus terporosok dalam kehancuran. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam
Inilah saudara-saudaraku tercinta,
Ya Allah, lindungilah kami. Jangan Kau hukum kami karena perilaku orang-orang bodoh di sekitar kami. Maafkan kami dan bukalah relung hati kami dengan petunjuk-Mu ... Amin Ya Rabbal Alamien.
Wallahu a’lam bis showwab
Muhammad Setiawan(murabbiku), renungan ba’da dhuha 01 April 2008,
saat minyak tanah makin susah dicari.
Sabtu, 13 Desember 2008
Prinsip-Prinsip Membelanjakan Harta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar