Kamis, 18 Desember 2008

Jangan Memanipulasi Kata Ikhlash

Beberapa pekan terakhir ini, sering muncul iklan di televisi mengenai haji. Iklan yang dibuat oleh Departemen Agama itu diawali dengan keluhan seorang ibu yang menyebutkan bahwa haji tahun ini lebih mahal dan pemondokannya lebih jauh. Setelah diberi penjelasan oleh beberapa orang laki-laki yang memang logat daerah berbeda-beda, akhir ibu itu menutup iklan dengan kalimat, "kalau ikhlas akan terasa nikmat." Tak lupa, sebelum iklan ditutup, ada juga pesan dari seorang Kiai anggota MUI.

Saat pertama kali melihat iklan ini, saya tersenyum-senyum sinis. Rasanya, bukan sekali ini saja Departemen Agama berlindung di balik kata ikhlash akan keburukan pelayanan haji. Tahun lalu, saat kasus buruknya katering haji, Depag-pun berlindung di balik kata ikhlash. Berulang kali pejabat Depag muncul di televisi menghimbau agar para jama'ah menjaga keikhlasan, dan tidak berkata-kata yang buruk yang akan mengurangi pahala berhaji. Beragam keburukan pelayanan haji, seperti kondisi pemukiman yang tak layak, makanan yang kurang, bus transportasi yang ugal-ugalan, dan seterusnya, sering digembar-gemborkan sebagai ujian saat berhaji. Sehingga jama'ah haji harus banyak bersabar, dan lagi-lagi ... harus ikhlash.

Alangkah, rendahnya kata ikhlash dan shabar. Jika selalu digunakan sebagai tameng keburukan pelayanan kita. Ini namanya inflasi makna ikhlash. Ikhlash dipakai dimana-mana, di tempat yang tidak semestinya. Seperti juga inflasi yang terjadi pada kata, "afwan akhi", atau bahkan pada ungkapan takbir, "Allahu Akbar." Mengapa saya berpendapat, takbir juga mengalami inflasi ? Karena saya melihat, kadang-kadang ada sebagian aktifis da'wah yang selalu bertakbir tidak pada tempatnya. Contoh yang teranyar misalnya, ketika ada debat di TVone mengenai iklan PKS yang "mem-pahlawan-kan" Soeharto. Nonton tidak ... ? Berulang kali, para pendukung PKS bertakbir, sesudah memuji-muji kebaikan Soeharto. Loh, saya jadi bingung saat mendengarnya. Takbir sesudah memuji Soeharto ? Gak salah tuh... ? Untuk siapa kalau begitu takbirnya ... ? Na'udzubiLlah min dzalik.

Kembali lagi, ke soal iklan Depag. Menurut saya yang lebih bijak, pemerintah (baca : Depag), tidak perlu lah gunakan kata ikhlash akan kekurangan pelayanan haji selama ini. Kalau mau bikin iklan, buat saja iklan yang berisi permintaan maaf kepada masyarakat akan kekurang sempurnaan layanan. Mohon do'a dari masyarakat agar bisa terus memperbaiki kualitas layanan. Atau, kalau mau lebih berani lagi, sudahlah tinggalkan saja urusan haji itu oleh pemerintah. Tidak perlu lagi pemerintah mengurusi haji. Depag, cukuplah mengurusi bimbingan dan layanan keagamaan. Perbaiki juga kualitas madrasah. Kadang-kadang, saya sering heran. Kenapa pemerintah maunya mengurusi ibadah yang ada unsur d-u-i-t-nya. Zakat, mau deh diurus. Haji, semangat banget mengelolanya. Sukuk, obligasi syari'ah, sampai dibuat undang-undangnya. Tapi, kalau ibadah yang tidak ada unsur "d"-nya tadi, seperti shaum, sholat, hijab, dan seterusnya, tidak mau diurusin. Malah, pakai deh dalih, urusan agama itu kan urusan privat, gak perlu campur tangan negara. Weileh... kok ngurusin ibadah milih-milih.

Kalau saja haji diswastanisasikan, saya sih cukup yakin, bahwa pelayanannya pasti akan lebih baik. Seperti zakat, yang juga banyak dikelola oleh swasta, hasilnya lebih baik daripada yang dikelola oleh negara. Lihatlah, betapa eloknya kinerja Dompet Dhuafa, PKPU, Rumah Zakat, dan teman-temannya. Dalam sebuah ceramah di tahun 70-an, bahkan Bang Imad (DR. Imaddudin Abdurrahim, penulis buku KUliah Tauhid dan dosen ITB) pernah menjanjikan jika haji dikelola oleh swasta biayanya bisa kurang hingga 50% dari biaya yang ditarik oleh negara. Bahkan juga, dengan kualitas yang berkali-kali lebih baik.(m.setiawan)murobbiku

Tidak ada komentar:


ShoutMix chat widget