Sabtu, 03 Januari 2009

Tegas dalam Aqidah

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Almasih putera Maryam", Padahal Almasih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.

73. Sesungguhnya kafirlah orang0orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", Padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa. jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.

Sebelum memulai tulisan ini, saya ingin mengajak kita semua untuk melafalkan sebait do’a. Do’a yang biasa kita baca dalam sehari. Tujuh belas kali banyaknya. Dibaca dalam setiap raka’at sholat kita. Ihdinas shiroothol mustaqiim .... Tunjukkanlah kami jalan yang lurus. Shiroothol ladziina an’amta alayhim, ghayril maghdhuubi ‘alayhim wa ladh dhoolliin ... Jalan orang-orang yang Kau beri nikmat pada mereka, dan bukan jalan orang-orang yang Kau murkai dan bukanlah jalan orang-orang yang tersesat.

Dalam do’a yang rutin kita baca tersebut, kita memohon kepada Allah Ta’ala agar memberikan hidayah (petunjuk) pada kita. Hidayah agar kita senantiasa berada dalam jalan mereka yang dianugerahi ni’mat dari Allah Ta’ala. Mereka yang diberi ni’mat itu dijelaskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat an-Nisaa ayat 69. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

Para Nabi, shiddiqiin, syuhada dan orang-orang shalih, mereka itulah yang jalan hidupnya lurus. Mereka itulah orang-orang yang ikuti jejak hidupnya. Sebagaimana do’a kita, “Ihdinas shiroothol mustaqiim..”. Sebaliknya, kita memohon kepada Allah Ta’ala agar dipalingkan sejauh-jauhnya dari jalan hidup “al-maghdhuubi alayhim” dan kelompok “adh-dhoollin”. Siapakah kelompok “al-maghdhuubi alayhim” dan “adh-dhoollin” tersebut ? Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab Tafsir-nya (dan juga banyak mufassirin lain) menjelaskan bahwa al-maghdhuubi alayhim adalah orang-orang Yahudi. Sedangkan adh-dhoollin adalah orang-orang Nashrani. Sehingga seharusnya, setiap kali kita melantunkan do’a tersebut, setiap kali itu juga kita menegaskan wala’ (loyalitas/keterikatan) dan baro’ (penghindaran/berlepas diri) kita. Kita hanya loyal kepada kelompok “an’amta alayhim” yang dicintai oleh Allah Ta’ala. Dan kita berlepas diri dan menjauh dari kelompok Yahudi dan Nashrani. Menjauh sejauh-jauhnya. Berlepas diri dari segala cara hidup dan keyakinan mereka.

Fatwa MUI 1981

Adalah sebuah fatwa Majelis Ulama Indonesia yang dikeluarkan pada tahun 1981. Fatwa yang sangat tegas dikeluarkan untuk melindungi aqidah ummat. Fatwa yang hingga hari ini tidak pernah dicabut. Fatwa yang menyebabkan Ketua Umum MUI saat itu, Buya Hamka rahimahuLlahu ta’ala, harus mengundurkan diri. Beliau mengundurkan diri karena terus dipaksa oleh rezim yang berkuasa saat itu untuk mencabut fatwa tersebut. Fatwa itu adalah Fatwa Haramnya Mengikuti Perayaaan Natal Bersama.

Sebagaimana kita ketahui, di masa itu rezim yang berkuasa sangat menggembar-gemborkan pentingnya toleransi antar umat beragama. Saking semangatnya mendorong semangat bertoleransi, hingga jika ada suatu perayaan hari besar agama tertentu, maka semua pegawai negeri dan pejabat diminta untuk hadir mengikuti acara tersebut.

Untuk itulah keluar Fatwa Majelis Ulama, tertanggal 1 Jumadil Awal 1401 / 7 Maret 1981 M. Isinya tegas, “Mengikuti upacara natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.” Akibatnya, setelah keluar fatwa tersebut, banyak pejabat dan pegawai negeri muslim yang mangkir jika diminta menghadiri acara Natal. Dan itu membuat geram penguasa. Hingga Buya Hamka pun dipanggil oleh Soeharto. Dipaksa untuk mencabut fatwa itu kembali. Namun, beliau bergeming. Bagi Buya Hamka, urusan aqidah adalah urusan prinsip. Yang untuk itu, nyawa pun boleh menjadi taruhannya. Beliau pun mundur dari jabatan Ketua MUI. Dan hingga Buya wafat, Buya tetap bersikukuh dengan fatwa itu. Di masa-masa sulit itu, Buya sampai mengungkapkan, “Ulama hari ini ibarat kue bika. Dari atas ditekan, dari bawah dibakar.”

Inilah fatwa bersejarah, yang hari ini mulai sering dilupakan. Hingga mudah saja para pejabat muslim (bahkan “ulama”) melangkahkan kaki ke perayaan Natal.

Hukum Mengucapkan Selamat Natal

Beberapa tahun yang lalu, terbit sebuah buku yang berisi pendapat kontroversi. Buku berjudul, “Membumikan Al-Qur’an” itu menyebutkan, bahwa boleh saja mengucapkan selamat Natal kepada mereka yang merayakannya. Dalihnya adalah, penafsiran yang ganjil terhadap firman Allah Ta’ala dalam surat Maryam ayat 33. Allah Ta’ala berfirman, “(Berkata Isa alayhissalaam) dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaKu, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali".

Sang penulis buku, menjelaskan penafsirannya. “Tidaklah mengapa mengucapkan selamat Natal kepada kaum Nasrani. Karena hakikat mengucapkan selamat Natal adalah ucapan selamat atas kelahiran Nabi Isa alayhissalam. Bukankah Nabi Isa alayhissalam sendiri mengucapkan salam atas kelahirannya ?”, demikian ungkap sang penulis.

Cara penafsiran seperti ini kemudian dibantah oleh tim Pusat Konsultasi Syari’ah, yang terdiri 14 ahli syariah di negeri ini.

Berikut kutipannya, “ Ucapan salam sejahtera yang ada di dalam ayat itu merupakan ucapan bayi Nabi Isa as untuk menjawab cemoohan dan ejekan orang-orang yang memusuhi Maryam, ibunda Nabi Isa. Sama sekali tidak mengandung hukum tentang sunnah atau masyru’iyah untuk mengucapkan selamat sejahtera pada tiap ulang tahun kelahiran nabi Isa. Bahkan murid-murid nabi Isa (al-Hawariyyun) juga tidak pernah mengucapkan selamat ulang tahun atau selamat hari lahir kepada nabi mereka saat nabi Isa masih hidup. Apalagi setelah beliau diangkat ke langit. Sehingga kalaulah mengucapkan selamat itu menjadi dibolehkan, maka seharusnya para shahabat terdekat nabi Isa yang melakukannya. Tapi kita sama sekali tidak mendapat keterangan tentang itu. Bahkan Nabi Isa sendiri tidak pernah memintanya atau mensyariatkannya. Selain itu sebagaimana yang tertera dalam ayat itu, kalimat itu menunjukkan bahwa salam sejahtera pada kepada nabi Isa. Bukan pada hari kelahirannya dan bukan juga pada setiap ulang tahun kelahirannya. Ini dua hal yang sangat jauh berbeda. Bolehlah kita mengucapkan selamat natal bila bunyi ayatnya seperti ini, “Wahai umat Islam, bila pemeluk kristen merayakan natal, maka ucapkanlah : selamat natal ?” Tapi demi Allah SWT yang Maha Agung dan Maha Benar, tidak ada sama sekali ayat itu dalam Al-Quran Al-Karim, tidak juga dalam Injil, Taurat ataupun Zabur. Ayat Al-Quran Al-Karim itu hanya mengatakan bahwa pada hari lahirnya, meninggal dan dibangkitkan semoga dirinya selamat dan sejahtera. Bunyinya adalah, Salamun Alayya. Semoga aku selamat atau semoga Allah mensejahterakan atau menyelamatkan diriku. Bukan harinya yang sejahtera atau selamat. Dalam tafsir yang lurus disebutkan bahwa kalimat Selamat atasku yang dimaksud pada ayat itu adalah selamat dari gangguan syetan, yaitu pada tiga momentum : pada hari kelahiran, kematian dan kebangkitan kembali. Maksudnya bahwa syetan tidak bisa mengganggu nabi Isa as dan tidak bisa mencelakakannya terutama pada tiga momentum itu. Kalaulah salam itu ditafsirkan sebagai ungkapan atau ucapan salam maka mengirim salam, maka salam itu adalah salam kepada nabi Isa alaihis salam. Dan mengucapkan kepada para nabi dan rasul memang dibenarkan dan disyariatkan dalam syariah islam. Dan sebagai muslim, kita mengakui kenabian Isa as serta posisinya sebagai nabi dan rasul. Untuk itu kita juga disunnahkan untuk mengucapkan salam kepada diri beliau. Namun hal itu jelas jauh berbeda dengan memberi ucapan selamat natal kepada orang kafir. Karena kalangan nasrani itu melakukan kemusyrikan dengan menjadikan nabi Isa sebagai tuhan selain dari Allah SWT. Dan kemusyrikannya itu dirayakan dalam bentuk perayaan natal. Mereka dengan segala keyakinannya mengatakan bahwa pada tanggal 25 Desember itu “TUHAN telah lahir”. Ini adalah kemusyrikan yang nyata dan terang sekali. Dan mengucapkan selamat natal kepada mereka yang sedang merayakan kemusyrikan berarti ikut meredhai dan mendukung kemusyrikan itu sendiri. Karena itu sudah terlalu jelas perbedaannya antara bersalawat kepada nabi Isa sebagai nabi dengan menyembah nabi Isa atau menjadikannya sebagai tuhan. Sehingga hanya mereka yang agak rancu pikirannya saja yang memahami ayat ini sebagai ayat yang memerintahkan kita untuk mengucapkan selamat natal kepada orang kafir.” (Dikutip dari www.syariahonline.com).

Selain itu, mengucapkan selamat Natal kepada pemeluk Nasrani juga merupakan keharaman yang telah disepakati oleh seluruh ulama (ijma’).Hal ini sebagaimana dinukil dari Ibn al-Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya “Ahkâm Ahl adz-Dzimmah” (Lihat kitab, Majmû’ Fatâwa Fadlîlah asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, Jld.III, h.44-46, No.403)

Berkaca Kepada Dua Uswah.

Dalam al-Qur’an hanya dua orang Nabi dan Rasul yang disematkan kepada keduanya gelar uswah hasanah (suri tauladan yang baik). Nabiyullah pertama, adalah Rasulullah Muhammad shallaLlahu alayhi wa sallam (Q.S. Al-Ahzab ayat 21). Dan yang kedua, adalah Nabiyullah Ibrahim alayhissalaam (Q.S. Al- Mumtahanah ayat 4). Marilah kita perhatikan bagaimana sikap keduanya saat mempertahankan kemurnian Tauhid.

Dengarlah, sikap tegas Ibrahim alayhissalam kepada ayahandanya tercinta dan penduduk negerinya, "Sesungguhnya Kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang kamu sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Q.S. Al- Mumtahanah ayat 4)

Kenanglah pula sikap tegas Nabi Muhammad shallaLlahu alayhi wa sallam saat beliau diminta untuk meninggalkan da’wah Tauhid ini, dan ditawari tiga hal; kekuasaan, kekayaan dan pengobatan, oleh Utbah Ibn Rabiah, sang negosiator Quraisy. Yang semua tawaran tersebut beliau tolak mentah-mentah (lihat Sirah Ibnu Hisyam, juz 1 hal. 292). Padahal, jika beliau shallaLlahu alayhi wa sallam menerima tawaran-tawaran itu, mungkin saja beliau shallaLlahu alayhi wa sallam bisa tetap berda’wah. Jika beliau shallaLlahu alayhi wa sallam menerima tawaran menjadi penguasa, misalnya, bisa saja setelah berkuasa, beliau shallaLlahu alayhi wa sallam menegakkan prinsip-prinsip Islam dalam pemerintahannya. Atau jika beliau shallaLlahu alayhi wa sallam menerima tawaran harta, bisa saja beliau shallaLlahu alayhi wa sallam mengangkat kehidupan ekonomi masyarakat Arab yang miskin saat itu. Dan setelah mereka sejahtera, Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam bisa berda’wah dengan lebih leluasa.

Namun itu semua tidak beliau shallaLlahu alayhi wa sallam lakukan. Beliau shallaLlahu alayhi wa sallam menolak dengan tegas segala tawaran kompromi terhadap da’wah Tauhid. Beliau shallaLlahu alayhi wa sallam malah menempuh jalan yang panjang dan berliku. Jalan non kompromi terhadap urusan Aqidah. Hingga akhirnya, harus disiksa, diboikot, diteror dan diusir dari negeri sendiri. Menderita hampir lebih dari 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah. Sikap yang diambil ‘ibroh (pelajarannya) oleh Sayyid Quthb rahimahuLlah dalam kitab Ma’alim fi Thoriq (edisi Indonesia: Petunjuk Jalan). Bahwa, agama ini tidak akan tegak jika diawali titik tolak kebangkitannya dari kekuasaan yang harus direngkuh atau kesejahteraan yang harus dikejar. Tetapi ia hanya bisa tegak, jika kalimah Tauhid Laa ilaha IllaLlah bersemayam dalam diri masyarakatnya. (Lihatlah, Bab II dari buku Ma’alim fi Thoriq tentang Wujud Metode Qur’ani)

Untuk itu, marilah kita berkaca kepada para Rasul dan Anbiyaa shallaLlahu alayhim. Jangan korbankan Aqidah kita hanya untuk kepentingan sesaat. Jangan mudah mengucapkan kalimat kekufuran (seperti, ucapan selamat Natal) hanya untuk meraih secuil kekuasaan duniawi. Tegaslah dalam urusan Aqidah. Karena ternyata, Allah subhanahu wa ta’ala hanya memberikan kekuasaan sejati pada kaum yang murni Aqidah-nya.

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. (Syaratnya adalah) mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Q.S. An-Nuur ayat 55)

Wallahu a’lam bish showwaab

Muhammad Setiawan(murobbiku)

Tidak ada komentar:


ShoutMix chat widget