Sabtu, 03 Januari 2009

Muharram Muram di Gaza

Kepedulian Kita

Seringkali, jika masyarakat muslim di Indonesia diajak memikirkan nasib bangsa Palestina, muncul ungkapan, “Mengapa sih kita harus memikirkan mereka ?”. “Bukankah, permasalahan dalam negeri kita masih banyak ... ? Pengangguran di mana-mana, kemiskinan, kebodohan, hingga masalah Pemilu 2009, bukankah itu harusnya lebih penting kita fikirkan, dari pada masalah Palestina di ujung dunia sana ... ?” Demikian biasanya ungkapan sebagian masyarakat Indonesia saat diajak berbicara tentang Palestina.

Memang, permasalahan dalam negeri kita sangat banyak. Namun, tidakkah kita menyadari, bahwa sesungguhnya permasalahan dalam negeri kita --yang sangat banyak itu-- amat dipengaruhi oleh masalah yang terjadi di luar negeri. Sejatinya, hari ini kita seperti hidup dalam satu kampung yang besar. Dimana satu rumah tangga dengan yang lainnya saling berhubungan.

Saat terjadi krisis BBM di negeri kita, dan semua harga barang melonjak naik, tidakkah kita menyadari bahwa itu akibat serangan Amerika ke Irak dan Afganistan... ? Saat harga BBM berkali-kali juga turun di negeri ini dan ramai-ramai pabrik di negeri ini gulung tikar, tidakkah pula kita menyadari bahwa itu akibat ekonomi Amerika yang kolaps setelah gagal di Irak ..? Jadi, tidak ada satu kejadian pun di luar sana yang tidak berpengaruh dengan kondisi di dalam negeri kita.

Apalagi, kali ini masalah Palestina. Seluruh pengamat dan peneliti masalah Internasional sepakat, bahwa akar dari seluruh konflik Internasional di dunia ini adalah Palestina. Seluruh peperangan yang terjadi selama satu abad terakhir ini, jika ditarik benang merahnya, berasal dari masalah penjajahan Israel kepada bangsa Palestina yang tidak kunjung selesai. Sehingga jika kita ingin meraih perdamaian dunia yang abadi, jalan keluar yang harus dtempuh mula-mula adalah, mengakhiri penjajahan Israel.

Itulah alasan secara geo-politik, mengapa kita harus peduli terhadap Palestina.

Alasan secara keagamaan, lebih jelas lagi. Bangsa Palestina adalah muslim. Dan setiap muslim adalah bersaudara. Tak peduli apa ras, suku dan bahasa mereka. Selama mereka muslim, mereka adalah saudara kita yang berhak mendapatkan hak-hak ukhuwwah (persaudaraan) dari kita. Karena bagi setiap muslim, keterikatan yang terbangun bukanlah karena keterikatan bangsa, suku, ras, kelompok, partai, ormas dan sejenisnya. Keterikatan kita adalah keterikatan aqidah.

Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seorang mu’min bagi mu’min yang lain seperti satu bangunan utuh. Satu dengan yang lainnya saling menguatkan.” (Hadits shahih riwayat Imam Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad)

Sehingga, apa yang menimpa saudara kita yang lain, semestinya ikut pula kita rasakan. Bahkan, Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam mengancam orang-orang yang tidak peduli dengan permasalahan kaum muslimin sebagai bukan bagian dari ummat Islam. (Hadits riwayat Imam al-Hakim dalam kitab al-mustadrok ala shohihayn)

Untuk itu, marilah kita renungkan baik-baik, bait-bait puisi yang pernah di tulis oleh Taufiq Ismail di tahun 1989. Saat gerakan Intifadhah mula-mula digaungkan oleh para pemuda Palestina. Semoga, puisi ini dapat membangkitkan semangat persaudaraan kita.

PALESTINA, bagaimana bisa aku melupakanmu ? (karya Taufik Ismail, 1989)

Ketika rumah-rumahmu diruntuhkan bulldozer dengan suara gemuruh menderu, serasa pasir dan batu bata dinding kamartidurku bertebaran di pekaranganku, memercikkan peluh merah dan mengepulkan debu yang berdarah.

Ketika luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan apelmu dilipat lipat sebesar saputangan lalu di Tel Aviv dimasukkan dalam fail lemari kantor agraria, serasa kebun kelapa dan pohon manggaku di kawasan khatulistiwa, yang dirampas mereka

Ketika kiblat pertama mereka gerek dan keroaki bagai kelakuan reptilia bawah tanah dan sepatusepatu serdadu menginjak tumpuan kening kita semua, serasa runtuh lantai papan surau tempat aku waktu kecil belajar tajwid Al-Qur’an 40 tahun silam, di bawahnya ada kolam ikan yang air gunungnya bening kebiru-biruan kini ditetesi .......... air mataku,

Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu

Ketika anak-anak kecil di Gaza belasan tahun bilangan umur mereka, menjawab laras baja dengan timpukan batu cuma, lalu dipatahi pergelangan tangan dan lengannya, siapakah yang tak menjerit serasa anak-anak kami Indonesia jua yang dizalimi mereka tapi saksikan tulang muda mereka yang patah akan bertaut dan mengulurkan rantai amat panjangnya, pembelit leher lawan mereka, penyeret tubuh si zalim ke neraka.

Ketika kusimak puisi-puisi Fadwa Tuqan, Samir Al-Qassem, Harun Hashim Rashid, Jabra Ibrahim Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya yang dibacakan di Pusat Kesenian Jakarta, jantung kami semua berdegup dua kali lebih gencar lalu tersayat oleh sembilu bambu deritamu, darah kami pun memancar ke atas lalu meneteskan guratan kaligrafi

“Allahu Akbar!”

dan ... “Bebaskan Palestina”

Ketika pabrik tak bernama 1000 ton sepekan memproduksi dusta, menebarkannya ke media cetak dan elektronika, mengoyaki tenda-tenda pengungsi di padang pasir belantara, membangkangi resolusi-resolusi majelis terhormat di dunia, membantai di Shabra dan Shatila, mengintai Yasser Arafat, Ahmad Yassin dan semua pejuang negeri anda, akupun berseru kepada khatib dan imam shalat jum’at sedunia, doakan kolektif dengan kuat seluruh dan setiap pejuang yang menapak di jalan-Nya, yang ditembaki dan kini dalam penjara lalu dengan kukuh kita bacalah

“La quwwata illa bi-Llah!”

Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu.

Tanahku jauh, bila diukur kilometernya beribu-ribu. Tapi azan Masjidil Aqsha begitu merdu. Serasa terngiang-ngiang di telingaku.

Penutup

“....Yang mati ditikam sudah banyak, yang mati kena narkoba melimpah, yang mati kebut-kebutan kecelakaan lalulintas sudah banyak. Indonesia bertanya, siapa yang mati dengan seni kematian yang paling indah? Seni kematian yang paling baik adalah mati membela ajaran Allah, membela mereka yang tertindas dan teraniaya. Mungkin banyak yang ngeri dengan istilah tadi. Sekedar berjalan kaki dari HI kemari (ke depan kedubes AS) belum berarti apa-apa. Tetapi ini akan jadi sangat berarti bagi saudara-saudara kita di Paletina. Tahukah saudara-saudara sekalian?! Di tengah derita mereka, hidup bertahun-tahun ditenda dan rumah-rumah darurat, ternyata saudara-sadara kita di Palestina masih sempat mengirimkan sumbangan untuk saudara-saudara kita di Aceh (korban gempa dan Tsunami) kemarin. Karena yang bisa memahami derita adalah orang yang sama –sama menderita, oleh karena itu walaupun kita tidak dalam derita seharusnya punya kepekaan, punya kepedulian dan punya hati yang halus dan lembut untuk bisa mendengar rintihan suara anak –anak di Palestina....”. (Pidato Ustadz Rahmat Abdullah Allahuyarham, saat aksi damai “SELAMATKAN AL AQSHA”, Ahad, 17/4/2005)

Selanjutnya, marilah kita bacakan Qunut Nazilah dan do’a untuk saudara-saudara kita di Palestina. Kita bantu perjuangan mereka dengan apapun yang kita mampu. Dan berdo’alah, semoga tragedi ini menjadi awal kehancuran Israel (la’natuLlah alayhim) dan jalan bagi kemenangan ummat Islam. Sehingga adzan dapat kembali berkumandang di masjidil Aqsha dan kita dapat menunaikan shalat berjama’ah di sana. Di kiblat pertama ummat Islam. Amiin ...

WaLlahu a’lam bish showwab

Citeureup, 29 Desember 2008

Muhammad Setiawan(murabbiku)

Tidak ada komentar:


ShoutMix chat widget